Sabtu, 29 Mei 2021

POTENSI DAN ALIRAN PEMASARAN GETAH PINUS DI KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN

 

Mata Kuliah Ekonomi Sumber Daya Hutan                                                Medan,   Mei  2021

POTENSI DAN ALIRAN PEMASARAN GETAH PINUS DI KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN

Dosen Penanggungjawab:

Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si

Oleh :

Putri Fadhira Muliani

191201046

HUT 4C

 

 


 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2021




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper Ekonomi Sumber Daya Hutan ini dengan baik dan tepat waktu. Adapun judul Paper atau blog  ini adalah “Potensi Dan Aliran Pemasaran Getah Pinus Di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada. Dosen Mata Kuliah Ekonomi Sumber Daya Hutan Dr. Agus Purwoko, S. Hut., M.Si  yang telah memberikan materi dengan baik dan benar.

Dalam penyusunan paper ini juga tidak luput dari adanya macam sumber seperti mengenai referensi untuk memperkuat dan membuka cakrawala atau wawasan  kami dalam menganalisis tentang materi dalam karya tulis ini. Sehingga kami dapat menyelesaikan Paper atau blog  ini dengan mudah dan menyusunnya menjadi sebuah Paper seperti ini. Semoga dengan kehadiran tugas ini dapat menambah wawasan dan ilmu tentang hal tersebut.Penulis menyadari bahwa Paper  ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan Paper ini. Terimakasih

 

 

 

 

                                                                                                Medan,   Mei  2021

 

                                                                                                                                                                       Penulis

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Hutan merupakan sumberdaya yang mampu menciptakan sederetan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat berupa lahan, vegetasi dan lingkungannya. Ilmu Ekonomi Sumber Daya Hutan adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, sehingga fungsinya dapat dipertahankan dan ditingkatkan dalam jangka panjang. Sumberdaya hutan memiliki potensi menghasilkan banyak komoditi berupa barang dan jasa secara bersamaan. Yang memerlukan pemasaran dan pengelolaan lestari yang tepat. Penyediaan hutan dan lahan sebagai modal awal untuk pembanguan berbagai sektor terutama untuk kegiatan industri dan sektor ekonomi lainnya. Peran hutan dalam pelayanan jasa lingkungan hidup (air, paru-paru dunia, rekreasi, wisata dan lingkungan sosial (penyerapn tenaga kerja, sumber bahan baku kayu, industri dan kayu bakar (Sukadaryati dan Dulsalam, 2013).

Hasil hutan juga jelas merupakan sumberdaya ekonomi potensial yang beragam yang didalam areal kawasan hutan mampu menghasilkan hasil hutan kayu, non kayu dan hasil hutan tidak kentara (intangible) seperti perlindungan tanah, pelestarian sumberdaya air dan beragam hasil wisata. Uraian tersebut di atas terungkap bahwa hutan, kehutanan dan hasil hutan sesungguhnya menjadi sumberdaya (resources) yang mempunyai potensi menciptakan barang, jasa serta aktifitas ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Kajian ekonomi akan meliputi semberdaya sendiri-sendiri atau secara majemuk sehingga disebut sumberdaya hutan (Sihombing, 2011).

Ekonomi SDH adalah suatu bidang penerapan alat-alat analisis ekonomi terhadap persoalan produksi, permintaan, penawaran, biaya produksi, penentuan harga termasuk dalam kajian ekonomi mikro dan masalah kesejahteraan masyarakat (kesempatan kerja, pendapatan produk domestik dan pertumbuhan ekonomi) yang termasuk dalam kajian ekonomi makro. Kajian ekonomi mikro dalam ekonomi SDH untuk menjawab barang dan jasa hasil hutan apa yang diproduksi sehingga dapat menguntungkan unit usaha (bisnis) sebagai pelaku usaha, sedangkan kajian ekonomi makro akan menjawab bagaimana sumberdaya hutan dimanfaatkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat dalam pengertian bahwa sumberdaaya hutan telah memberikan kontribusi bagi tersedianya lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan memberikan jasa perlindungan lingkungan bagi semua masyarakat (Santoso, 2010).

Hasil riset menunjukkan bahwa hasil hutan kayu dari ekosistem hutan hanya sebesar 10% sedangkan sebagian besar (90%) hasil lain berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang selama ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk pemanfaatan HHBK yang memiliki potensi sangat baik berasal dari tanaman pinus. Tanaman pinus ini memiliki peranan yang penting, sebab selain sebagai tanaman pioner, bagian kulit pinus dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium. Selain itu ekstrak daun pinus mempunyai potensi sebagai bioherbisida untuk mengontrol pertumbuhan gulma pada tanaman. Keistimewaan lain dari pohon pinus yaitu mampu menghasilkan getah. Berdasarkan profil singkat HHBK di Indonesia untuk komoditas getah-getahan pinus memiliki potensi sumber daya. Potensi tersebut tersebar di kawasan hutan Negara seluas ± 500.000 ha dan ± 50.000 ha hutan pinus rakyat. Komoditas getah-getahan pinus ini mampu menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.19/Menhut-II/2009).

Rumusan Masalah

1.      Bagaimana karakteristik dari getah pinus?

2.      Bagaimana nilai ekonomi getah pinus di Kabupaten Bone?

3.      Bagaimana potensi ekonomi getah pinus di Kabupaten Bone?

4.      Bagaimana aliran pemasaran getah pinus di Kabupaten Bone?

Tujuan

1.      Untuk mengetahui karakteristik dari getah pinus.

2.      Untuk mengetahui nilai ekonomi getah pinus di Kabupaten Bone.

3.      Untuk mengetahui potensi ekonomi getah pinus di Kabupaten Bone.

4.      Untuk mengetahui aliran pemasaran getah pinus di Kabupaten Bone.



BAB II

ISI

2.1 Karakteristik Getah Pinus

            Pohon Pinus merkusii  merupakan jenis pinus yang tumbuh asli di wilayah Indonesia dan pertama kali ditemukan dengan nama “Tusam” di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman Dr. F. R. Junghuhn. Selain termasuk jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species), jenis pinus ini merupakan jenis pinus yang tidak memerlukan syarat-syarat tempat tumbuh yang khusus sehingga mudah untuk dibudidayakan bahkan pada tempat yang kering. Tidak hanya kayunya saja yang dapat dimanfaatkan, HHBK jenis getah yang dihasilkan Pinus merkusii ini juga dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Kedua hasil olahan destilasi getah pinus ini sangat bermanfaat sebagai bahan baku di berbagai industri. Oleh karena itu, Pinus merkusii sangat berpotensi untuk diusahakan.

§  Habitat Pohon Pinus

Pohon pinus memiliki akar tunggang dengan sistem perakaran yang cukup dalam dan kuat sehingga dapat tumbuh di tanah yang dalam/tebal dengan tekstur tanah ringan sampai sedang. Jenis pinus ini juga tidak memiliki syarat tinggi untuk jenis tanah tempat tumbuhnya karena pohon pinus dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah bahkan pada tanah dengan pH asam. Pinus merkusii dapat tumbuh di berbagai ketinggian tempat, namun tempat tumbuh terbaik bagi jenis pohon pinus ini berada pada ketinggian tempat antara 400-2000 mdpl. Pohon pinus yang ditanam pada ketinggian tempat kurang dari 400 mdpl akan menyebabkan pertumbuhannya tidak optimal karena suhu udara yang terlalu tinggi. Selain itu, pertumbuhan pohon pinus yang ditanam di ketinggian tempat lebih dari 2000 mdpl juga tidak akan optimal karena terhambatnya proses fotosintesis. Tempat tumbuh yang baik bagi jenis pinus ini memiliki curah hujan 1200-3000 mm/tahun dan jumlah bulan kering 0-3 bulan. Di Pulau Jawa, Pinus merkusii dapat tumbuh baik pada tempat yang memiliki ketinggian di atas 400 mdpl dengan curah hujan 4000 mm/tahun (Perhutani 1993).

§  Karakteristik Getah Pinus

Getah pinus (colophony) merupakan substansi yang transparan, kental dan memiliki daya rekat yang cukup tinggi. Getah Pinus dihasilkan dari penyadapan batang pohon pinus, getah pinus ini bila dilakukan pemanasan, maka kandungan Terpentin yang ada dalam getah akan menguap sehingga nantinya akan tersisa berupa ampas getah yang biasanya disebut dengan Gondorukem. Getah Pinus memiliki karakteristik hydrophobic (tidak suka air), dapat larut dalam pelarut netral atau pelarut organik non polar (etil eter, hexan, dan pelarut minyak). Getah Pinus termasuk jenis oleoresin (perpaduan resin dan minyak pohon) yang mengandung senyawa terpenoid, hidrokarbon dan senyawa netral bila didestilasikan akan menghasilkan 15-25 % terpentin (C10H16) dan 70-80 % gondorukem dan 5-10 % kotoran (Riwayati 2005). Warna getah pucat, jernih dan lengket serta apabila diuapkan berubah menjadi rapuh. Sugiyono et al. (2001), menyatakan getah pinus tersusun atas 66 % asam resin (resin), 25 % terpentin (monoterpene), 7 % bahan netral yang tidak mudah menguap dan 2% air.

2.2 Nilai Ekonomi Getah Pinus

            Jika luas hutan pinus yang disadap mencapai 1 juta hektar maka potensi ekonomi dari getah bisa mencapai 24 – 66 trilyun per tahun dan terpenting mencapai 4,2 – 12,2 trilyun per tahun. Jika dalam satu hektar terdapat 300 – 600 pohon pinus maka potensi getah yang dihasilkan adalah antara 1.680 – 4.880 kg per hektar per tahun. Hasil pengolahan getah secara umum akan menghasilkan gondorukem, terpentin dan kotoran dengan persentase masing-masing 65%, 25% dan 10% sehingga gondorukem yang dapat dihasilkan dari satu hektar adalah antara 1.092 – 3.172 kg per tahun dan terpentin antara 420 – 1.220 kg per tahun.

            Untuk mengetahui potensi ekonomi dari getah maka ada beberapa asumsi mengenai produktivitas pohon dalam menghasilkan getah, harga getah dan juga harga produk olahan getah. Saat ini untuk menghasilkan getah, metode penyadapan yang banyak digunakan adalah metode “Quarre/Koakan” dan produksi getah antara 13 – 19 gram per koakan per 3 hari. Dalam satu pohon jumlah maksimal koakan adalah empat buah maka produksi getah per pohon adalah 42 – 76 gram per pohon per 3 hari. Jika dalam satu tahun pengusahaan getah dilakukan selama 330 hari kerja maka potensi getah per pohon per tahun adalah 4,2 – 6,4 kg.

2.3 Potensi Ekonomi Getah Pinus di Kabupaten Bone

Getah yang dihasilkan oleh pinus setelah proses destilasi yaitu gondorukem dan terpentin yang dipergunakan dalam industri batik, plastik, sabun, tinta cetak, bahan plitur, dan sebagainya, sedangkan terpentin digunakan sebagai bahan pelarut cat dari getah pinus. Potensi penyadapan getah pinus di Kabupaten Bone dapat ditinjau berdasarkan luasan izin pemungutan getah pinus dan produktivitas yang dihasilkan. Luasan izin pemungutan getah pinus yang diberikan kepada Gabungan Kelompok Tani Hutan (GAPOKTAN) di Kabupaten Bone adalah 7.980 ha. Pemungutan getah pinus ini tersebar pada area di Kecamatan Tellu Limpoe, Libureng, Lappariaja dan Bontocani yang bermitra dengan 5 perusahaan pengumpul getah pinus di Sulawesi Selatan. Penyadapan getah pinus di Kabupaten Bone cukup diminati oleh beberapa industri pengumpul getah pinus. Bahkan beberapa perusahaan pengumpul pada periode 2015-2020 masih melakukan pengajuan izin pengumpulan pada daerah lain di Kabupaten Bone.

Penyadapan getah pinus termasuk hal yang baru bagi masyarakat di Kabupaten Bone. Hal ini membuat produktivitas getah pinus tidak optimal. Masih kurangnya minat masyarakat untuk melakukan penyadapan juga dikonfirmasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone. Laporan mengenai produktivitas getah pinus juga tidak sepenuhnya sesuai yang terjadi di lapangan sehingga sangat diperlukan penguatan dalam hal sumber daya manusia untuk meningkatkan produktivitas getah pinus. Produktivitas getah pinus di 5 perusahaan yang bermitra dengan Kabupaten Bone ini belum maksimal. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah penyadap getah pinus yang belum seimbang dengan luasan area perizinan pengumpulan getah pinus yang ada untuk setiap perusahaan.

Mengacu pada Sugiyono (2001) dalam Adhi (2008) bahwa produktivitas getah pada Pinus merkusii adalah 6 kg/pohon/tahun, maka optimalnya Kabupaten Bone dapat menghasilkan ± 3.222 ton/tahun. Ketidakoptimalan produktivitas dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya kemampuan daya sadap setiap orang berbeda-beda. Kemampuan dalam melakukan penyadapan dipengaruhi oleh perbedaan cuaca seperti musim penghujan yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan kurangnya produktivitas getah pinus. Selain itu, adanya mata pencaharian lain dapat menjadi faktor penyebab menurunnya stamina penyadap dalam memungut getah pinus yang secara tidak langsung berpengaruh pada produktivitas getah pinus.

Produktivitas getah pinus setiap tahunnya dapat dioptimalkan melalui penyesuaian jumlah kebutuhan tenaga penyadap dengan luasan hutan pinus yang dikelola untuk penyadapan. Kebutuhan tenaga penyadap terhadap luasan perizinan pemungutan getah pinus seluas 7.980 ha dapat mencapai sekitar 3000 orang agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Selain kurangnya tenaga penyadap, teknologi penyadapan juga berpengaruh pada peningkatan produktivitas. Proses pemungutan di Kabupaten Bone masih menggunakan alat-alat yang sederhana sehingga jumlah yang dihasilkan juga belum bisa maksimal. Namun, dengan potensi yang besar para pelaku pemungutan getah pinus tetap menargetkan pasar internasional.

2.4 Aliran Pemasaran Getah Pinus di Kabupaten Bone

Saat ini aliran pemasaran menjangkau pasar lokal, nasional, bahkan internasional. Gondorukem yang dijual di pasaran Internasional mempunyai dua jenis yang dibedakan berdasarkan asalnya, yaitu gondorukem yang berasal dari destilasi getah pinus (gum rosin) dan yang berasal dari hasil samping pembuatan kertas (tall oil rosin). Namun demikian industri-industri yang memerlukan gondorukem kualitas tinggi lebih menyukai yang berasal dari getah pinus sekalipun tall oil rosin harganya lebih murah. Aliran pemasaran ini dilakukan oleh perusahaan pengumpul. Saat ini diantara kelima perusahaan yang bermitra dengan kelompok tani, hanya PT. Adimitra Pinus Utama yang melakukan proses ekspor getah pinus yang telah diolah menjadi produk gondorukem dan terpentin. Tujuan pasar internasional menjadi potensi yang dapat diunggulkan bagi perusahaan dan kelompok tani. Aliran Pemasaran yang ada di Kabupaten Bone berdasarkan perusahaan yang mendapat izin pengumpulan getah pinus terbagi menjadi 3 jenis pasar sebagai berikut:

1.      Pasar lokal

Pasar lokal yang dimaksud adalah proses pemasaran yang terjadi dalam cakupan Sulawesi yaitu diantaranya pada Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Sinjai, Maros dan Kabupaten Soppeng.

2.      Pasar Nasional

Pasar nasional merupakan proses pengiriman getah pinus dalam wilayah Indonesia. Potensi penyadapan getah pinus di Indonesia sangat besar, hal ini dikarenakan hampir disetiap provinsi memiliki usaha penyadapan getah pinus. Namun, untuk sementara penyadapan getah pinus Kabupaten Bone memiliki area pemasaran hingga Bekasi.

3.      Pasar International

Mody (2017) menerangkan bahwa hasil pemungutan getah pinus Indonesia telah menembus 10% total produksi dunia dan diekspor ke berbagai negara diantaranya Jepang, Eropa, America, Korea Selatan dan India. Adimitra Pinus Utama mampu dipasarkan hingga negara Cina dan India. Selain itu perusahaan CV. Nusantara Jaya juga memasarkan getah pinus yang dikumpulkan hingga ke negara Cina dan Thailand.

           

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1.  Ekonomi SDH adalah suatu bidang penerapan alat-alat analisis ekonomi terhadap persoalan produksi, permintaan, penawaran, biaya produksi, penentuan harga termasuk dalam kajian ekonomi mikro dan masalah kesejahteraan masyarakat (kesempatan kerja, pendapatan produk domestik dan pertumbuhan ekonomi) yang termasuk dalam kajian ekonomi makro.

2.  Tidak hanya kayunya saja yang dapat dimanfaatkan, HHBK jenis getah yang dihasilkan Pinus merkusii ini juga dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin.

3.   Getah Pinus memiliki karakteristik hydrophobic (tidak suka air), dapat larut dalam pelarut netral atau pelarut organik non polar (etil eter, hexan, dan pelarut minyak).

4.   Hasil pengolahan getah secara umum akan menghasilkan gondorukem, terpentin dan kotoran dengan persentase masing-masing 65%, 25% dan 10% sehingga gondorukem yang dapat dihasilkan dari satu hektar adalah antara 1.092 – 3.172 kg per tahun dan terpentin antara 420 – 1.220 kg per tahun.

5. Potensi penyadapan getah pinus di Kabupaten Bone dapat ditinjau berdasarkan luasan izin pemungutan getah pinus dan produktivitas yang dihasilkan. Luasan izin pemungutan getah pinus yang diberikan kepada Gabungan Kelompok Tani Hutan (GAPOKTAN) di Kabupaten Bone adalah 7.980 ha.

Saran

       Sebaiknya dilakukan peningktan kualitas tenaga SDM dalam pengelolaan getah pinus di Kabupaten Bone dan diperlukannya perbaruan terhadap alat-alat pengelolaan getah pinus Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Mody L. 2017. Studi Penyadapan Getah Pinus Cara Bor Dengan Stimulas H2SO4. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 35(3).

Mukhlisa AN. 2020. Potensi dan Aliran Pemasaran Getah Pinus di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Journal Of Forestry Research, 3(2).

Santoso G. 2010. Peningkatan Mutu dan Produktivitas Penyadapan Getah Pinus. FGD Peningkatan Mutu Getah. Puslitbang Perum Perhutani

Sihombing JA. 2011. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) oleh Masyarakat Desa Sekitar HUtan di IUPHHK-HA PT. Ratah Timber Samarinda, Kalimantan Timur. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Sukadaryati, Dulsalam. 2013. Teknik Penyadapan Pinus Untuk Peningkatan Produksi Melalui Stimulan Hayati. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(3):221-227.

Selasa, 11 Mei 2021

HUTAN KOTA DAN EKOWISATA

 

 Praktikum Ekonomi Sumber Daya Hutan                                                                                    Medan,   Mei 2021

HUTAN KOTA DAN EKOWISATA

Dosen Penanggungjawab :

Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si.

Oleh :

Winda

191201045

Putri Fadhira Muliani

191201046

Ika Darwati Nainggolan

191201116

Wahyu Danesya

191201119

Juliana

191201123

Fauzan Enda Mora Dalimunthe

191201199

 

Kelompok 6

HUT 4C

 

 

 



 

 

 

 

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS KEHUTANAN 

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 

MEDAN

2021


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Ekonomi Sumber Daya Hasil Hutanyang berjudul “Hutan Kota dan Ekowisata” ini dengan semaksimal mungkin  dan dalam waktu yang telah ditentukan. Adapun makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas Praktikum Ekonomi Sumber Daya Hasil Hutan di Program Studi  Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan makalah ini penulis menerima banyak bantuan dari  berbagai pihak, penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen penanggungjawab yaitu bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si.yang telah memberikan pelajaran dan  bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalahini. Begitu juga  kepada teman dan sumber-sumber yang telah memberikan dukungan dan kontribusi dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka  dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi  kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi sumber informasi  kepada setiap pembaca. 

                                                                                     

 

 

                                                                          Medan,   Mei 2021

 

 

                                                                                                                    Penulis

Penulis

DAFTAR  ISI

                                                                                                                     Halaman

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

          1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1

          1.2 Tujuan.................................................................................................. 2

BAB II ISI

          2.1 Pengertian Hutan Kota Dan Ekowisata............................................... 3

          2.2 Fungsi dan Manfaat dari Hutan Kota dan Ekowisata......................... 4

          2.3 Bentuk Hutan Kota dan Jenis-Jenis Ekowisata................................... 6

          2.4 Prinsip-prinsip Ekowisata.................................................................... 7

BAB III PENUTUP

          3.1 Kesimpulan........................................................................................... 11

3.2 Saran.................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

                Hutan sebagai sumberdaya alam merupakan sumber dari berbagai barang dan jasa yang perlu dikelola secara optimal dan lestari untuk menjaga eksistensinya. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang dapat menjamin fungsi hutan sebagai penyangga pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan hutan harus diarahkan pada upayaupaya peningkatan pendapatan masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan berusaha serta peningkatan fungsi hutan untuk kelestarian lingkungan. Sumberdaya alam tersebut dikelola secara terus menerus sebagai usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat harus memperhatikan aspek lingkungan (Erwin, 2013).

            Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 8 disebutkan bahwa: (1) pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus, (2) penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus dimaksud untuk kepentingan umum, seperti: penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta keagamaan dan budaya. Kawasan hutan dengan kategori tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan tetap, yaitu hutan yang keberadaannya terus dipertahankan baik itu sebagai hutan lindung, atau hutan konservasi atau hutan produksi. Pengelolaan sumberdaya alam yang hanya berorientasi ekonomi akan membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif  yang buruk bagi kelangsungan kehidupan umat manusia (Helianto et al., 2016).

Untuk mengurangi kerusakan dan melestarikan fungsi biologis ekositem, perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya, dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan. Keberagaman kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki bangsa Indonesia, seperti potensi alam, flora, fauna, keindahan alam dan bentuknya yang berkepulauan, kaya akan adat istiadat, budaya, dan bahasa sehingga memiliki daya tarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Pemanfaatan pariwisata dengan jasa lingkungan ini semakin banyak diminati oleh masyarakat seperti taman wisata pegunungan, wisata danau, wisata pantai, laut, hutan lindung, cagar alam, dan wisata alam menjadi obyek wisata yang bernilai dan menarik (Dewi et al., 2017).

Ekowisata sebagai bagian dari konsep pengembangan pariwisata telah mengalami kemajuan dengan semakin banyaknya peminat jenis wisata yang berbasis pada kelestarian lingkungan. Dalam pengembangan destinasi wisata alam didapatkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara manusia sebagai mahkluk yang menikmati alam dalam kegiatannya dengan alam yang terlestarikan secara baik. Ekowisata merupakan kegiatan pariwisata yang diarahkan dapat memadukan pembangunan ekonomi sekaligus dapat membangkitkan pendanaan untuk usahausaha pelestarian sumberdaya sebagai atraksinya (Erwin, 2013).

Untuk menuju ke arah ekowisata yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat, Would Wild Found (WWF) Internasional (2001), dalam Guidelines for community-based ecotourism development ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan yaitu menyediakan kehidupan yang berkelanjutan untuk masyarakat lokal, mendorong masyarakat secara langsung melakukan ekowisata, mendapatkan keuntungan langsung dari pelestarian alam, produk yang dikembangkan harus berdasarkan pengetahuan masyarakat, serta nilai dan kemampuan mereka, masyarakat bisa menentukan budaya wisatawan yang perlu disaring (Riyanto et al., 2014).

Hutan kota merupakan suatu kawasan dalam kota yang didominasi oleh pepohonan yang habitatnya dibiarkan tumbuh secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan yang tumbuh menjadi hutan besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur seperti taman. Lokasi hutan kota umumnya di daerah pinggiran. Ini dimungkinkan karena kebutuhan lokasi pemukiman atau perkantoran daerah tersebut tidak terlalu besar. Hutan kota dibuat sebagai daerah penyangga kebutuhan air, lingkungan alami, serta pelindung flora dan fauna di perkotaan (Helianto et al., 2016).

1.2 Tujuan

Tujuan dari Praktikum Ekonomi Sumberdaya Hutan yang berjudul “Hutan Kota dan Ekowisata” adalah mengetahui Fungsi hutan kota dan manfaat Ekowisata.

BAB II
ISI

2.1 Pengertian Hutan Kota Dan Ekowisata

a. Hutan kota

            Hutan kota adalah bagian dari program RTH (ruang terbuka hijau), yang meliputi ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang atau jalur dimana penggunannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Pelaksanaan program pengembangan ruang terbuka hijau dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya seperti pertanian, pertamanan, perkebunan, dan sebagainya.

Tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat bagi  lingkungan yang cukup besar dalam kegunaan proteksi, estetika, rekreasi, dan kegunaan khusus lainnya. hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol (menumpuk), struktur meniru (menyerupai) hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa liar dan menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk, dan estetis.

Peraturan Pemerintah RI No.63 Thn 2002 Tentang Hutan Kota menyatakan bahwa Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuh pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Tujuan penyelenggaraan hutan kota ini adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial, dan budaya.

b. Ekowisata

Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, melibatkan interpretasi serta pendidikan lingkungan hidup. Konsep ekowisata mencoba memadukan tiga komponen penting yaitu konservasi alam, memberdayakan masyarakat lokal, meningkatkan kesadaran lingkungan hidup. Hal ini ditujukan tidak hanya bagi pengunjung, tetapi melibatkan masyarakat setempat.

2.2  Fungsi dan Manfaat Dari Hutan Kota dan Ekowisata

a. Manfaat Hutan Kota

Manfaat hutan kota diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Estetika, lautan beton dan gedung-gedung pencakar langit memang bisa membentuk lansekap kota yang indah. Namun keindahan tersebut akan menjadi gersang bila tidak selingi hijaunya pepohanan. Paduan keindahan alami dan bangunan-bangunan manusia bisa membentuk kota yang lebih estetik. Tak jarang, kota-kota besar di dunia menjadi terlihat lebih indah karena memiliki taman-taman yang hijau dan rimbun.
  2. Hidrologis, tanah hutan dan pepohonan yang menutupinya mempunyai kemampuan mengatur tata air. Pada musim hujan, bisa menampung air hujan agar tidak langsung mengalir ke tempat lebih rendah sehingga mengurangi resiko banjir. Sedangkan pada musim kemarau bisa menyediakan air tanah yang disimpannya untuk digunakan warga kota.
  3. Klimatoligis, keberdaan hutan kota bisa mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya, seperti menurunkan suhu permukaan tanah. Sehingga kota yang memiliki banyak hutan akan terasa lebih sejuk.  Hal ini akan sangat bermanfaat terutama bagi kota-kota beriklim tropis seperti di Indonesia.
  4. Habitat satwa, hutan kota bukan saja tempat koleksi tumbuhan. Ekosistemnya juga dimanfaatkan oleh berbagai jenis satwa. Kita tahu, ruang hidup satwa di perkotaan semakin terdesak. Keberadaan hutan kota bisa memberikan pelindungan bagi satwa-satwa tersebut.
  5. Menekan polusi, kota-kota besar biasanya sarat polusi baik itu udara maupun air. Keberadaan pepohonan bisa menekan polusi berbahaya. Daun-daun yang rimbun mampu menyaring debu, kotoran dan gas berbahaya lainnya.
  6. Penyimpan karbon, gas CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Hutan atau pepohonan merupakan penyerap gas CO2 yang efektif dari udara, kemudian dalam betuk biomasa sepertii kayu dan dedaunan.
  7. Edukatif, hutan kota bisa menjadi tempat untuk pendidikan lingkungan terutama bagi anak-anak. Banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah ekosistem alam, terutama yang berhubungan dengan ilmu hayati. Selain itu, bisa menguggah kesadaran masyarakat akan pentingnnya melestarikan alam.
  8. Rekreatif, kawasan hutan kota bisa dijadikan tempat untuk melepas lelah atau untuk melepas stres dari penatnya kehidupan kota. Masyarakat juga bisa memanfaatkannya untuk kegiatan olah raga, seperti joging atau bersepeda.
  9. Ekonomi, bila pengelolaannya baik, hutan kota bisa menjadi daya tarik pariwisata. Banyak kota-kota besar di dunia yang “menjual” keberadaan hutan kota kepada para pelancong. Dampak ekonomi pariwisata bisa langsung melalui pemungutan tiket masuk maupun tidak langsung seperti bisnis hotel, restoran, kerajinan souvenir dan bisnis masyarakat lainnya.

b. Manfaat Ekowisata

Manfaat ekowisata berdampak dalam berbagai aspek.  Manfaat tersebut meliputi aspek konservasi, pemberdayaan dan pendidikan lingkungan. Manfaat tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:

§  Konservasi. Keterkaitan ekoturisme dan satwa terancam punah sangat erat, bahkan harus bersifat positif, sebagaimana studi yang dilakukan oleh peneliti Universitas Griffith. Wisata berkorelasi positif dengan konservasi berarti memberikan insentif ekonomi yang efektif untuk melestarikan, meningkatkan keanekaragaman hayati budaya, melindungi warisan alam serta budaya di planet bumi.

§  Pemberdayaan ekonomi. Ekoturisme melibatkan masyarakat lokal berarti meningkatkan kapasitas, kesempatan kerja masyarakat lokal. Konsep eko-wisata adalah sebuah metode yang efektif untuk memberdayakan masyarakat lokal di seluruh dunia guna melawan kemiskinan, mencapai pembangunan berkelanjutan.

§  Pendidikan lingkungan. Melibatkan pendidikan lingkungan berarti kegiatan wisata yang dilakukan harus memperkaya pengalaman, juga kesadaran lingkungan melalui interpretasi. Kegiatan harus mempromosikan pemahaman, penghargaan yang utuh terhadap alam, masyarakat, budaya setempat.

Oleh karena itu, berdasarkan tiga komponen penting tersebut, maka tidak secara otomatis setiap perjalanan wisata alam merupakan aktifitas wisata berbasis ekologi (ecotourism).

2.3 Bentuk Hutan Kota Dan Jenis-jenis Ekowisata

a. Bentuk Hutan Kota

            Menurut Irwan (1994), bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu:

1) Bergerombol atau menumpuk, yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak beraturan.

2) Menyebar, yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil,

3) Berbentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya

b. Jenis-jenis Ekowisata

1.   Ekowisata pemandangan, meliputi objek alam seperti pantai dan air terjun; flora seperti hutan; fauna; dan perkebunan berupa perkebunan teh, kopi, sayur, dan buah.

2.   Ekowisata petualangan, seperti kegiatan alam bebas mendaki gunung, lintas alam, berselancar, dan lainnya.

3.   Ekowisata kebudayaan dan sejarah, yang meliputi: suku terasing atau pedalaman seperti orang rimba dan suku dayak; kerajinan tangan batik dan ukiran; dan peninggalan sejarah seperti candi, benteng kolonial, dan lainnya.

4.   Ekowisata penelitian yang meliputi pendataan spesies, pendataan kerusakan alam seperti lahan gundul dan pencemaran lingkungan, serta kegiatan konservasi seperti reboisasi dan lokalisasi pencemaran.

5.      Ekowisata sosial, konservasi, dan pendidikan yang meliputi pembangunan fasilitas kesehatan dan komunikasi di wilayah dekat ekowisata; reboisasi hutan gundul, pengembangan flora dan fauna yang mulai terancam kelestariannya; dan memberikan pendidikan bagi masyarakat di sekitar kawasan wisata, seperti mengajarkan bahasa inggris, meningkatkan minat baca, dan lainnya.

2.4 Prinsip-prinsip Ekowisata

a. Prinsip-prinsip pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan konservasi

1.    Keberlanjutan Ekowisata dari Aspek Ekonomi, Sosial dan Lingkungan (prinsip konservasi dan partisipasi masyarakat)

 Ekowisata yang dikembangkan di kawasan konservasi adalah ekowisata yang “HIJAU dan ADIL” (Green& Fair) untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan dan konservasi, yaitu sebuah kegiatan usaha yang bertujuan untuk menyediakan alternatif ekonomi secara berkelanjutan bagi masyarakat di kawasan yang dilindungi, berbagi manfaat dari upaya konservasi secara layak (terutama bagi masyarakat yang lahan dan sumberdaya alamnya berada di kawasan yang dilindungi), dan berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap perlindungan bentang lahan yang memiliki nilai biologis, ekologis dan nilai sejarah yang tinggi.

2.        Pengembangan institusi masyarakat lokal dan kemitraan (Prinsip partisipasi masyarakat)

Aspek organisasi dan kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata juga menjadi isu kunci: pentingnya dukungan yang profesional dalam menguatkan organisasi lokal secara kontinyu, mendorong usaha yang mandiri dan menciptakan kemitraan yang adil dalam pengembangan ekowisata. Beberapa contoh di lapangan menunjukan bahwa ekowisata di tingkat lokal dapat dikembangkan melalui kesepakatan dan kerjasama yang baik antara Tour Operator dan organisasi masyarakat (contohnya: KOMPAKH, LSM Tana Tam). Peran organisasi masyarakat sangat penting oleh karena masyarakat adalah stakeholder utama dan akan mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan ekowisata.

3.      Ekonomi berbasis masyarakat (Prinsip partisipasi masyarakat)

 Homestay adalah sistem akomodasi yang sering dipakai dalam ekowisata. Homestay bisa mencakup berbagai jenis akomodasi dari penginapan sederhana yang dikelola secara langsung oleh keluarga sampai dengan menginap di rumah keluarga setempat. Homestay bukan hanya sebuah pilihan akomodasi yang tidak memerlukan modal yang tinggi, dengan sistem homestay pemilik rumah dapat merasakan secara langsung manfaat ekonomi dari kunjungan turis, dan distribusi manfaat di masyarakat lebih terjamin. Sistem homestay mempunyai nilai tinggi sebagai produk ekowisata di mana 6 soerang turis mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai alam, budaya masyarakat dan kehidupan sehari-hari di lokasi tersebut. Pihak turis dan pihak tuan rumah bisa saling mengenal dan belajar satu sama lain, dan dengan itu dapat menumbuhkan toleransi dan pemahaman yang lebih baik. Homestay sesuai dengan tradisi keramahan orang Indonesia.

4.      Prinsip Edukasi

 Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, Pusat Informasi menjadi hal yang penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya.

5.      Pengembangan dan penerapan rencana tapak dan kerangka kerja pengelolaan lokasi ekowisata (prinsip konservasi dan wisata).

 Dalam perencanaan kawasan ekowisata, soal daya dukung (=carrying capacity) perlu diperhatikan sebelum perkembanganya ekowisata berdampak negative terhadap alam (dan budaya) setempat. Aspek dari daya dukung yang perlu dipertimbangkan adalah: jumlah turis/tahun; lamanya kunjungan turis; berapa sering lokasi yang “rentan” secara ekologis dapat dikunjungi; dll. Zonasi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata.

B. Prinsip Ekowisata Menurut Masyarakat Ekowisata Internasional atau The International Ecotourism Society (TIES)

1. Meminimalisasi dampak

Ekowisata muncul sebagai bentuk respon terhadap pariwisata massal (mass tourism). Tak bisa dimungkiri lagi bahwa pariwisata massal memberikan banyak dampak negative, tak hanya bagi lingkungan, tapi juga sosial. Sumber PBB menyebutkan, rata-rata turis yang menghabiskan air dalam waktu 24 jam, sama dengan jumlah air yang bisa digunakan oleh petani di negara dunia ketiga untuk memproduksi padi selama 100 hari. Contoh lain, satu hotel mewah di negara dunia ketiga menghabiskan 66 ribu gallon air sehari. Di ranah sosial, pariwisata massal berdampak pada masyarakat, khususnya anak-anak. Data dari PBB menyebutkan, setidaknya 13-19 juta anak-anak di seluruh dunia bekerja di sektor pariwisata. Lebih dari 1 juta di antara mereka dieksploitasi secara seksual oleh turis tiap tahunnya. Sungguh bikin miris!

2.      Membangun kesadaran dan kepedulian terhadap budaya dan lingkungan

Ekowisata bisa disebut sebagai filter (penyaring) dari dampak pariwisata massal. Ini tak lain karena ekowisata lebih merupakan small tourism. Jumlah wisatawan yang kecil, akan kecil kemungkinan pula memberi dampak negatif. Wisatawan bisa berinteraksi lebih intens dengan warga lokal. Ini membuat mereka punya waktu lebih banyak untuk menyelami budaya warga lokal sekaligus menghormati lingkungan tempat mereka berada.

3.      Memberikan pengalaman positif, baik bagi wisatawan maupun warga lokal sebagai tuan rumah

Dengan jumlah wisatawan yang sedikit, ekowisata bisa memberi pengalaman positif yang lebih intensif dengan masyarakat lokal. Interaksi ini jauh lebih berkualitas. Misalkan, wisatawan menginap di homestay lokal. Mereka tidak sekadar menginap, tapi juga dihidangkan makanan khas sana. Bahkan, bisa melihat prosesnya langsung jikalau pemilik homestay menyediakan paketnya. Empat mahasiswa Biologi asal Jerman berinteraksi dengan warga lokal yang menginap di Baloeran Ecolodge. Mereka melakukan penelitian sekaligus merasakan suasana homestay lokal berkonsep ecolodge.

4.      Memberikan keuntungan finansial langsung bagi konservasi

Kendati small tourism, namun ekowisata bisa memberikan keuntungan finansial yang tidak sedikit. Ekowisatawan biasanya sudah menyadari bahwa ekowisata itu mahal. Mereka akan mafhum mengenai hal ini karena efek positif yang diberikannya untuk beragam lapisan. Misalnya, mereka mengambil paket ekowisata untuk melihat penangkaran penyu. Mereka akan rela merogoh kocek mendalam, namun imbal baliknya ke mereka berupa pengalaman yang menakjubkan. Bisa melihat penyu sedang menetaskan anaknya, melepas tukik-tukiknya ke laut, itu tentu tidaklah murah.

5.      Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi warga lokal

            Ekowisata mengondisikan masyarakat di destinasi dan sekitarnya untuk menghidupkan potensi-potensi lokal yang dimiliki. Hal ini sedikit berbeda dengan pariwisata massal yang cenderung membuat warga di sana beralih profesi karena tergiur oleh duit melimpah. Sebaliknya, ekowisata akan membuat kehidupan di destinasi menjadi lebih sustainable (berkelanjutan). Warga hanya perlu fokus pada profesinya, memberi nilai tambah pada produk atau jasa yang ditawarkan, serta memberikan pelayanan prima. Warga kian berdaya, keuntungan finansial pun bukanlah harapan semu belaka.

6.      Meningkatkan sensitivitas bagi iklim politik, lingkungan, maupun sosial pada negara tuan rumah

            Ekowisata yang dijalankan dengan optimal akan berdampak pada banyak hal. Jika ekowisata diberi perhatian besar, maka mau tak mau akan berimbas pada kebijakan. Sebab, bagaimanapun juga, ekowisata perlu diregulasi. Ini untuk menjaga agar tidak kebablasan kea rah pariwisata massal. Efek lingkungan dan sosial pun sudah pasti menjadi keniscayaan. Semua pihak pun akan ramai-ramai peduli. Sinergi ini akan menciptakan angina segar bagi tumbuhnya ekowisata. Pembangunan pun menjadi lebih terarah dan berkelanjutan. Tidak sekadar bertumpu pada tujuan-tujuan jangka pendek semata.

 

 

 

 

 

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1  Kesimpulan

1.      Hutan sebagai sumberdaya alam merupakan sumber dari berbagai barang dan jasa yang perlu dikelola secara optimal dan lestari untuk menjaga eksistensinya.

2.      Hutan kota merupakan suatu kawasan dalam kota yang didominasi oleh pepohonan yang habitatnya dibiarkan tumbuh secara alami.

3.      Hutan kota adalah bagian dari program RTH (ruang terbuka hijau), yang meliputi ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang atau jalur dimana penggunannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.

4.      Ekowisata yang dijalankan dengan optimal akan berdampak pada banyak hal. Jika ekowisata diberi perhatian besar, maka mau tak mau akan berimbas pada kebijakan. Sebab, bagaimanapun juga, ekowisata perlu diregulasi. Ini untuk menjaga agar tidak kebablasan kea rah pariwisata massal.

5.      Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal.

3.2  Saran

Sebaiknya praktikan mengikuti praktikum dari awal dan akhir dengan fokus agar dapat memahami materi yang dimana nantinya dapat melakukan praktek langsung dengan tidak melakukan kesalahan

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

BLHD. (2015). Keanekaragaman Hayati Hutan Pelawan. Kabupaten Bangka Tengah: BLHD.

Dewi IN, Awang SA , Andayani W , Suryanto P. 2017. Pengembangan Ekowisata Kawasan Hutan Dengan Skema Hutan Kemasyarakatan Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Manusia & Lingkungan, 24(2): 95-102.

Disbudpar. (2015). Selayang Pandang Budaya, Tradisi dan Pariwisata Bangka Tengah. Koba: Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah.

Erwin. 2013. Strategi Pengembangan Ekowisata Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Di Malili Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Tesis Program Studi Ilmu Kehutanan.

Handono, N., Tanjung, R. H., & Zebua, L. I. (2014). Struktur Vegetasi dan Nilai Ekonomi Hutan Mangrove Teluk Youtefa Kota Jayapura Papua. Jurnal Biologi Papua , 1-11.

Helianto B, Yoza D, Oktorini Y. 2016. Identifikasi Potensi Ekowisata Hutan Kota Pulau Bungin Kabupaten Kuantan Singingi. JOM Faperta UR, 3(2): 1-10.

Kalitouw WD, Kumaat RM, Lyndon RJ, Pangemanan PA. 2015. Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove Di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. COCOS, 6(8): 21-23.

Lucyanti, S. (2013). Strategi Pengembangan Objek Wisata Alam Bumi Perkemahan Palutungan Berdasarkan Pendekatan Daya Dukung Lingkungan di Taman Nasional Gunung Ciremai. (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro.

Manalu, B. E., Latifah, S., & Patana, P. (2013 V). Persepsi Masyarakat Terhadap Pengembangan Ekowisata di Desa Huta Ginjang Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara. Peronema Forestry Science Journal. Vol 2 No. 1. , 56-64.

Maulida, H. F., Anggoro, S., & Susilowati, I. (2012). Pengelolaan Wisata Alam Air Panas Cangar di Kota Batu. Jurnal Ekosains , Vol IV No. 3. 11-18p.

Riyanto, Hamzari, Golar. 2014. Analisis Pembangunan Ekowisata Di Kawasan Taman Hutan Raya Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal Warta Rimba, 2(1): 153-163.